Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Hukum Keluarga (HIMAHUKA) UIN Ar-Raniry Banda Aceh Tahun 2025, Muhammad Fasya, menyatakan keprihatinan dan kecaman atas tindakan pemukulan serta pelarangan pengibaran bendera Bintang Bulan terhadap masyarakat sipil Aceh yang belakangan ini viral dan menimbulkan keresahan publik.
Menurutnya, peristiwa tersebut bukan sekadar persoalan simbol, melainkan menyangkut martabat, hak sipil, dan komitmen negara terhadap perdamaian Aceh yang telah diperjuangkan melalui proses panjang, penuh pengorbanan, serta disahkan dalam perjanjian resmi antara Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia.
“Perdamaian Aceh tidak lahir dari ruang hampa. Ia dibangun di atas darah dan air mata rakyat Aceh. Karena itu, setiap tindakan represif yang mengabaikan kesepakatan damai merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat rekonsiliasi,” tegas Fasya.
Ia menegaskan bahwa Aceh saat ini tidak sedang menuntut kemerdekaan, melainkan menagih janji negara yang telah disepakati bersama. Dalam MoU Helsinki butir 1.1.5, secara jelas disebutkan bahwa Aceh berhak menggunakan simbol-simbol wilayahnya, termasuk bendera. Pengakuan tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya Pasal 246 dan 247, yang membuka ruang pengaturan bendera dan lambang Aceh sebagai simbol kekhususan daerah.
“Tindakan pelarangan, apalagi disertai kekerasan fisik terhadap warga sipil, tidak hanya berpotensi melanggar hak asasi manusia dan hak sipil warga negara, tetapi juga merusak kepercayaan rakyat Aceh terhadap komitmen negara dalam menjalankan MoU Helsinki dan UUPA,” ujarnya.
Fasya menilai, tindakan koersif aparat negara dalam menyikapi persoalan pengibaran bendera Aceh justru kontraproduktif dan berisiko membuka kembali luka lama yang seharusnya telah disembuhkan melalui perdamaian. Ketika hak yang dijamin oleh perjanjian dan undang-undang dibalas dengan intimidasi dan kekerasan, maka yang terluka bukan hanya tubuh warga sipil, tetapi juga rasa keadilan dan kepercayaan rakyat Aceh terhadap negara.
Sebagai representasi mahasiswa hukum dan generasi muda Aceh, Fasya menegaskan bahwa aparat negara seharusnya berdiri sebagai penjaga konstitusi dan perdamaian, bukan justru menjadi sumber ketakutan bagi rakyat. Ia menyerukan agar negara berhenti menggunakan pendekatan intimidatif dan kembali pada jalan dialog, hukum, dan penghormatan terhadap kesepakatan damai.
“Perdamaian antara Aceh dan Indonesia tidak dijaga dengan intimidasi, melainkan dengan kejujuran, penghormatan terhadap perjanjian, serta keberanian negara menepati komitmennya sendiri, karena menjaga perdamaian Aceh adalah tanggung jawab bersama yang tidak boleh dikorbankan oleh tindakan sepihak yang mengabaikan hukum dan sejarah perdamaian itu sendiri,” pungkasnya.
